Jumat, 06 Agustus 2010

Jatuh Cinta

Rasanya manis dan membuat batuk
Begitu lengket hingga mencekat tenggorokan
Baunya sedap dan cukup untuk menidurkan sekawanan gajah

Segala tentangnya dimaknai indah
Setiap geraknya adalah bahagia

Harusnya ia dipuja dengan kata-kata agung
Dimuliakan dengan sebutan pongah
Namun kenyataan hanya mengecewakan teori ini

Jatuh
Makhluk mana yang bersedia mengalaminya berkali-kali?

Jatuh
Dimaknai negatif, selalu

Namun rasa itu adalah sebuah kejatuhan
Sebuah kemunduran dan petaka
Penyakit akut dalam kejayaan

Rasa itu adalah jatuh
Tersungkur, terluka, dan kesakitan

Jatuh, seseorang harus terperosok dalam kehinaan sebelum mendapatkan cinta

(Sebuah refleksi di tengah kegundahan)

Kamis, 05 Agustus 2010

Rampak Gendang

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Ada yang menganggapnya sebagai awal ekstase
Ada juga yang menganggapnya sebagai pengiring pesta

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Dibuat dari kulit kambing dan sapi
Keduanya disembelih, dibiarkan terkapar, digantung, dan dikuliti
Ritme menyenangkan dari pembantaian yang lumrah

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Ketika sebaris pemuda memukulnya dan sebaris lain mulai menari
Maka seribu maknanya pudar dalam kelumrahan

Gendang adalah tabuhan yang semakin biasa, irama-irama konstan yang mulai membosankan, namun tetap bermakna seribu

Gendang adalah bunyian ritmis yang tak perlu dipikirkan, terus berulang seribu kali bak petaka di tanah ini

(Petisi penuh amarah terhadap setiap wacana konyol yang dilontarkan pemerintah)

Kamis, 27 Mei 2010

Mencinta Hingga Gerbang Maut

Layla Majnun yang menginspirasi kisah Romeo Juliet konon berasal dari kenyataan mengenaskan.



Sebuah kisah cinta penuh kemalangan, itulah yang menginspirasi Nizami Ganjavi untuk menulis kisah ini, kelak Shakespeare terinspirasi darinya.



Drama cinta tentang kesetiaan dan kemalangan tak akan tercipta dari khayalan, sebuah kisah penuh luka tak mungkin lahir dari bualan.



Ada teladan yang menjadi martir bagi lahirnya kisah para pujangga. Adalah para pasangan, yang berpegang erat pada janji suci di depan altar atau berikrar di hadapan orang saleh. Taat sampai mati.





Drama cinta tentang kesetiaan dan kemalangan tak akan tercipta dari khayalan, sebuah kisah penuh luka tak mungkin lahir dari bualan.



Para martir kasih menginspirasi para pujangga, dalam kebisuan dan kerapuhan tubuh mereka, berbagi air mata dan mereguk surga bersama. Kisah hidup mereka ada dalam satu suara:



Mencinta hingga gerbang maut.



(Sebuah puisi yang terinspirasi oleh BJ Habibie dan Almarhumah Ainun Hasri Habibie)

Rabu, 12 Mei 2010

Jika Mereka Bicara

Jika pasir bisa bicara kawan, akan ada cerita tentang batu yang dirapuhkan bumi, sebuah kisah tentang gunung karang yang musnah dalam waktu dan lahirnya padang gurun dari bebatuan.



Jika hujan bisa berucap kawan, akan ada cerita sederhana tentang riwayatnya, sebuah nubuat tentang panasnya matahari yang merenggut butiran basah dari sungai, kemudian dipudarkan di langit. Sebuah mitos akan dikembangkan dari derasnya hujan yang turun.



Pasir dan hujan kawan, jika keduanya mampu berkata maka akan ada badai gurun yang mengamuk hari ini. Hujan kering yang panas dan membutakan. Kita tak akan pernah melihat dan bernapas lagi.



Jika tanah mampu membuka mulut kawan, akan ada pengakuan tentang belulang yang dihimpit di dalamnya, sebuah kisah tentang kesuburan dari hidup yang direnggut dalam kebisuan.



Jika hari ini, aspal panas dan jalanan berdebu mampu berteriak kawan, maka akan kau dengar cerita yang ingin mereka bagi padamu. Tentang kenangan yang harus disudahi dan sepenggal tradisi yang masih berarti.



(Mengenang Peristiwa 12 Mei 1998 Sebagai Sebuah Kenangan dalam Perjuangan)

Senin, 26 April 2010

What is Success?

Sometimes I think that success is something that has been determined in advance, rather than something that is obtained from the struggle. Someone who was born of a wealthy and respected families will have the guarantee of a good education, will have a supportive social environment, and of course adequate nutrients for growth. Someone who grew up in intact families and respected, with an idolized and meaningful parents can be grown without barriers and easily determine the ideals and steps must be followed. Everything seemed to have been available in one complete set.

What is success? Destiny or choice?

Let's look at the people who grew up in poor families and dilapidated. Their families were nobody and far from being respected. Their parents were not the figures that could assist their growth and provide a good example. These poor people get an education just improvise with the social circles that do not support. Let alone thinking about success, just deal with the problems of living alone is very heavy.


What is success? Destiny or choice?

They say God is fair, He gives equal opportunities to everyone to get what they want, He never distinguished anyone.

But if we are faced with the case above, can we still look God as justice without the slightest bother of feelings? Is it fair to let the two men compete with a draw? Is it feasible to let two people fight over water with a straw and a high pressure pump?


What is success? Destiny or choice? What is justice? Truth or folklore?

Or is there a karma? What we experience in life is the result of our actions in past life.

God and us, we know a fair competition for success should be done by people who have the equal power.



What is success? Destiny or choice?


(Question from someone who harass the justice of God)

Jumat, 23 April 2010

Tak Ada

Tak ada biara di pegunungan atau istana musim panas yang berdiri pongah di ujung lansekap; tak ada satu pun yang dibangun dari tumpukkan pasir atau susunan batu belaka.

Tak ada keraton di balik rindang pepohonan purba ataupun pertokoan kota lama dengan asap sehitam jelaga; tak ada yang dicipta semalam dan sekejap mata.

Kata orang, Sutasoma bukan berasal dari gunjingan kasta sudra ataupun senyum palsu para Brahmana; tak ada kitab yang ditulis dalam khayalan, tak ada wahyu dalam semalam.

Tak ada satupun, tak ada.

Bukan negeri ini, bukan bangsa ini. Keduanya dicipta dalam cakrawala waktu yang menempa kekerabatan di bawah terik dataran khatulistiwa, tak ada kekerabatan darah dan keluarga.

Tak ada satupun, tak ada.

Keduanya terus ditempa oleh waktu, terus diuji tentang kekerabatan. Tentang mimpi membangun istana dari tumpukkan pasir yang berasal dari ribuan pesisirnya, tentang sebuah benteng kokoh dari susunan batu belaka.

Keduanya terus ditempa; bangsa ini sedang diuji.

Apakah berbeda-beda tapi tetap satu ataukah berbeda-beda harus menjadi satu?

Bangsa ini yang akan menjawab, apakah Sutasoma hanya dusta, ataukah memang ada bangunan pasir yang menyilaukan mata?

(Memoar luka tentang penggusuran pemukiman Cina Banteng)

Rabu, 31 Maret 2010

Milik Tuhan

Kita hanya batang-batang lemah dandelion di ladang jagung milik Tuhan, semudah hembusan angin maka kita akan berhamburan kemana-mana, sementara jagung-jagung hanya akan melambai pelan.

Kita hanya genangan-genangan kotor di hari hujan milik Tuhan, bergolak hebat dihantam tetesan-tetesan kecil, semudah angin merobek awan untuk menumpahkan air dari lazuardi.

Kita hanya batang kapur rapuh di papan tulis milik Tuhan, ketika tangan-Nya bergerak dan menggerus kita pelan untuk menuliskan putusan. Semudah angin melenyapkan serpihan-serpihan kapur yang halus dan membawanya menghilang.

Kita hanya memainkan peran sederhana kita di lelucon milik Tuhan, tak ada balasan atas kepatuhan, tak ada jaminan kebahagiaan, semudah angin berhembus: tak menentu.

(Ketika batas kepasrahaan dan keputusasaan semakin kabur)

Minggu, 28 Maret 2010

Aku Dinamai Manusia

Aku dinamai manusia, karena menyimpan otakku yang berharga dalam tengkorak gelap dan rapat. Agar tak ada debu yang mampu mengotori dan tak ada bisa yang mampu meracuni.

Aku dinamai manusia, karena menyembunyikan mataku di balik kelopak-kelopak kokoh. Agar tak ada sinar yang bisa membutakan dan tak ada gelap yang mampu menggoda.

Aku dinamai demikian karena kebodohanku untuk menentang suratan, bersimbah peluh demi kebajikan, dan meratap atas pelanggaran.

Aku dinamai manusia karena tak membiarkan akalku menghitung dengan benar, kemudian mencoba berkonspirasi dengan intuisi untuk hasil yang aku inginkan. Aku dinamai demikian karena aku merasa bukan lewat indera.

Aku dinamai manusia, karena membiarkan telingaku terbuka sepanjang masa. Siap menjadi tuli untuk mendengar apa saja dan siapa saja. Siap mendengar tabuh genderang perang dan gema gong perdamaian.

Aku dinamai manusia, karena memenjarakan lidahku di balik bibir yang terkatup dan gigi-gigi kokoh yang rapat. Tak tertembus. Sekuat apapun lisan meronta untuk menabur petaka, ia harus membunuhku terlebih dahulu.

Aku dinamai manusia, karena membual memiliki hati yang mampu merasa, padahal ia hanyalah gumpalan organ tak bermakna. Terlebih lagi, letaknya bukan di dada. Di sana berdiam paru-paru, yang dikekang rusuk agar tak bisa mengembang sesukanya untuk menyesap kehidupan di bumi.

Aku dinamai manusia karena keterbatasan kata, tak ada istilah lebih hina atau lebih mulia.

(Keprihatinan terhadap tiap tindakan pengkhianatan jabatan, penistaan kepercayaan, dan kelumpuhan terhadap ketidakadilan sosial-politik di Indonesia)

Sabtu, 27 Maret 2010

Kupu-Kupu

Seorang laki-laki menemukan sebuah kepompong kupu-kupu. Suatu hari sebuah celah kecil muncul. Dia duduk dan menatap kupu-kupu itu selama beberapa jam ketika ia tengah berjuang untuk memaksakan tubuhnya keluar melalui lobang kecil itu. Kemudian ia tampak berhenti dan tidak membuat kemajuan apa-apa lagi.

Tampaklah bahwa ia telah melakukan hal terbaik yang mampu ia lakukan, dan tidak dapat melakukannya lebih jauh lagi. Jadi laki-laki itu memutuskan untuk membantu kupu-kupu itu. Dia mengambil sepasang gunting dan menggunting sedikit kepompong itu.

Kupu-kupu itu kemudian dapat keluar dengan mudah. Tetapi ia mempunyai tubuh yang bengkak dan sayap-sayap yang kecil dan lemah.

Laki-laki itu terus mengamati kupu-kupu itu karena dia berharap bahwa, pada saatnya nanti, sayap-sayap itu akan mengambang dan membesar agar mampu menopang tubuh itu, yang pada akhirnya akan mengerut.

Tak terjadi apa-apa! Sesungguhnya, kupu-kupu itu menghabiskan seluruh sisa hidupnya bergulingan dengan tubuh bengkak dan sayap-sayap yang lemah. Ia tidak pernah mampu terbang.

Apa yang tidak laki-laki itu ketahui, dalam kebaikan dan ketergesa-gesaannya, adalah bahwa kepompong yang ketat dan perjuangan itu yang dibutuhkan kupu-kupu agar dapat keluar dari celah kecil itu adalah cara Allah untuk mengalirkan cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sehingga ia akan siap untuk terbang ketika ia lepas dari kepompong itu.

Kadang-kadang perjuangan tepatnya adalah apa yang kita butuhkan dalam hidup ini. Jika Allah mengizinkan untuk menjalani hidup kita tanpa halangan apa pun, hidup ini akan melumpuhkan kita. Kita tidak akan sekuat yang bisa kita lakukan. Kita tidak akan pernah "terbang"!

Aku memohon Kekuatan
Dan Allah memberiku Kesulitan untuk membuatku tegar.
Aku memohon Kearifan
Dan Allah memberiku Masalah untuk diselesaikan.
Aku memohon Kemakmuran
Dan Allah memberiku Pikiran dan Kekuatan untuk bekerja.
Aku memohon Keberanian
Dan Allah memberiku Bahaya untuk diatasi.
Aku memohon Cinta
Dan Allah memberiku orang-orang yang Bermasalah untuk dibantu.
Aku memohon Pertolongan
Dan Allah memberiku kesempatan.
Aku tidak menerima apa-apa yang aku inginkan
Tetapi Aku menerima segala hal yang aku butuhkan!

(Dari English For Muslims, Bahasa Inggris Untuk Umat Islam oleh Drs. Ibtihadj Musyarof, Tugu Publisher, Halaman 147-150)

Jumat, 26 Maret 2010

Aku Senang Bertemu Denganmu

Aku senang bertemu denganmu malam ini, gaun hitam dan perak berkilat mengatakan hal yang sama. Tiap belaian lembut angin malam memainkan ujung-ujung syal yang rapuh dan merasuk pelan lewat tengkukku.

Aku senang berbicara denganmu malam ini, kepulan asap kopi hitam dan aroma tembakau yang menguar mengiyakan hal yang sama. Tiap gelak tawa dan suara batuk di kejauhan membelai telinga dan ujung -ujung rambutku.

Malam telah larut dan cahaya dari kota impian terus merasuk dan memberikan kerinduan yang tak terkisah.

Aku senang bertemu denganmu malam ini, maukah kau menemaniku menikmati hanyut dalam gemerlap lampu kota dan menyongsong fajar dengan wangi rumput basah di balik gedung-gedung tinggi?

Di sini, di titik tertinggi dari kota pesisir yang berdiri anggun menentang kegelisahan. Tiap masa yang dilewati adalah denyut kehidupanmu, hidup yang ditopang lewat kebingungan dan kebimbanganku, lewat aliran hangat dari keinginan untuk berdiam dan menikmati gemerlap malam kota ini. Kita bergurau menertawakan hidup.

Aku senang berbicara denganmu malam ini, tiap kata yang terucap adalah simfoni hati yang tak kupahami dan kubagi padamu.

Di sini, ketika kerinduan merasuk dan keterpanaan pada kota impian datang, maka tiap kata tak harus dimengerti, tiap baris tak harus dipahami, karena begitulah puisi, tak termaknai. Ilham dan misteri penuh intrik, tak berujung.

(Suatu malam di Sydney empat tahun yang lalu, tulisan ini dihadiahkan kepada siapa saja yang memiliki memoar tentang cinta dan balas jasa)

Kamis, 25 Maret 2010

Selamat Ulang Tahun Ayah

Selamat ulang tahun ayah, bertahun lewat sejak kelahiranmu di sana. Debu masih bertumpuk dan membutakan mata, angin gurun tetap hangat dan gersang.

Selamat ulang tahun ayah, lonceng gereja bersimfoni dengan azan, melawan konser akbar dari dentuman bom di balik bukit.

Ini aku ayah, datang membawa air mata sekendi untuk membasuh aspal yang berbau hangus dan kehitaman, menyentuh lembut kursi roda usang yang menjadi rongsokan. Kutuangkan sedikit air ini ayah, semoga kau berkenan dan tersenyum simpul.

Di sini masih panas ayah, pohon zaitun tak tumbuh seperti pohon poplar dan menghilang dari halaman rumah kita. Batu-batu putih bersinar terang ayah, pagi tadi kutermangu, membayangkan mereka berbicara pada kita.

Ini aku ayah, datang tak hanya membawa air mata, juga sehelai jubah usang milikmu, aku membawa anak-anakku yang berharap kau kecup kening mereka untukku.

Tenanglah ayah, mereka tak akan nakal dan membuatmu pusing, mereka tertidur lelap sekali dalam balutan kain kerudung ibunya, hingga teramat susah bagiku melepas balutan kain itu.

Ini istriku ayah, potongan jubah dan kerudung putih yang berhasil aku kumpulkan dari bus yang meledak kemarin sore. Ia mengatakan ingin mengunjungi orangtuanya di sebelah rumahmu.

Aku tak bisa berlama ayah, bedil ini panas dan siap meledak. Akhirnya aku membungkuk hormat dan memohon restumu. Aku merangkai kuntum bunga dari Al-Fatihah.

Selamat ulang tahun ayah, restui aku meminang istriku di surga, dan jagalah anak-anakku sebelum aku sampai di sana.

(Sebuah puisi untuk mengenang enam tahun gugurnya Syaikh Ahmad Yassin, 22 Maret 2004 - 25 Maret 2010)

Mari!

Mari membajak pribadi Tuhan, lalu gunakan sebagai topi agar cipratan darah kaum kafir tidak mengotori rambut.

Mari membajak pribadi para Nabi, lalu gunakan sebagai sumbat telinga agar tangis kaum kafir tidak menulikan telinga.

Mari membajak Kitab Suci, lalu gunakan sebagai penutup mata agar tak perlu silau tipuan kaum kafir.

Mari mengambil penolong dan pembisik lihai dari empat penjuru. Mari tertawa dan tertidur dalam dentingan cawan anggur. Mari menangis dan meratap demi gelar orang suci.

Mari, mari mari.

Mari memuntahkan daging busuk dari pesta dahulu dan menelan yang baru. Mari bergumam dalam rapal mantera dan doa, kemudian berbagi tubuh dalam penuh hasrat. Mari menyatakan penyesat dan membakarnya di tiang sula, kemudian membagi abunya di tiap rumah suci.

Mari, mari mencuri jiwa-jiwa untuk dijual di pelataran Rumah Tuhan. Mari menengok ke sana dan mengecap daging hangus dan anyir darah.

Mari, mari, mari, mari, mari, mari, mari, mari, mari, mari.

(Sebuah protes terhadap tiap kejahatan dan pelanggaran atas nama Tuhan)

Selasa, 23 Maret 2010

Kata Orang

Kata orang menjadi kaya itu menyimpan tiap keping logam dalam kurun masa. Tiap gemerincing logam yang bergesek menggema di pundi-pundi tanah liat. Tiada yang terbuang, tak ada yang percuma, tiap gemerincing adalah berharga di mata waktu.

Kata orang menjadi pintar itu menelan lembaran kertas penuh tinta dalam periode. Tiap tetesan tinta yang ditoreh menimbulkan bunyi-bunyi gemerisik yang membosankan. Tetap tiada yang terbuang, tak ada yang sia-sia, tiap sendawa kenyang dari kertas yang disantap adalah kepastian sebuah kepandaian.

"Kami menabung.'"
"Kami menyicil tiap tetesan airmata rekan kami, kami menyicil tiap helai rupiah yang dibasuh darah ayah dan ibu kami, kami menyicil kesakitan saudara kami, dan kami berhutang pada nyawa yang melayang dalam putusan dari dewan yang kami diyakinkan telah arif dan bijaksana serta mulia dalam tiap sabdanya."

Kata orang... Manusia itu perpaduan kepintaran dan kepandaian, menjadi cerdik lagi terhormat. Kata orang, mereka belajar bahwa menjadi manusia itu menggunakan hati, bukan gumpalan otak semata. Kata orang keluhuran dan perjuangan itu dipandang dan diakui.

"Kami menabung."
"Kami menyisihkan tiap teriakan serak dari saudara kami di seberang pulau, kami menyisihkan kesabaran terhadap saudara-saudara kami yang tersisih di ujung sana, berbagi duka dan kengerian bersama, menjadikannya simfoni penuh kritik dan dukungan pahit."

Kata orang menjadi pintar itu keharusan. Tiap tangga yang ditapaki untuk bangsa ini adalah kewajiban kami, lagi-lagi kata orang.

Kata orang, ini hanya tentang kami, tiap berkatnya adalah buah kami dan orang, tiap kutuknya adalah milik kami.

(Sebuah keprihatinan terhadap pelaksanaan Ujian Akhir Nasional di Indonesia)

Di Negeri Ini.

Di negeri ini, ketika orang meminum air belerang dan keracunan asam tambang, maka sebagian berdecak kagum pada keangkuhan metropolis



Di negeri ini, ketika orang memakan nasi aking dan mati kurus kering, maka sebagian bersorak bangga pada keacuhan idealis



Di negeri ini, ketika orang memburu sampah dan memandangnya layak rempah, maka sebagian bersuka pada kebrutalan rasis



Di negeri ini, ketika orang berebut liang dan merampok kuburan, maka sebagian akan membaca ini dengan heran.

Senin, 22 Maret 2010

De Revolutionibus Orbium Coelestium.

Ketika dihadapkan pada pihak Gereja, Copernicus lebih memilih menjadi abu daripada mendaraskan ralat dan maaf.

Ketika yang berkuasa membajak nama Tuhan dalam hierarki religius, maka poros kebenaran berubah, layaknya poros dunia yang berpindah dari surya ke bumi.

Seperti ide haus sensasi lainnya, sebuah teori dibuktikan lewat tiang sula dan tali gantungan. Sebuah teori harus tahan kutuk sebelum dipuji.

Dihadapan Yang Mulia, Copernicus hanya mendesah dan bersiap untuk teorinya dengan publikasi sesat: De Revolutionibus Orbium Coelestium.

Minggu, 21 Maret 2010

Adil Itu...

Adil itu teman, ketika yang lapar mendapat makanan dan yang letih dapat terlelap.

Adil itu kawan, ketika yang bahagia dapat menangis dan yang berduka dapat tertawa.

Adil itu Tuhan, ketika aku membisu menyaksikan ketimpangan hidup dan kesumbangan suara kesetaraan.

Ketika sebagian memenuhi cakwarala dengan dengusan rakus dan tawa penuh nafsu, maka sebagian lainnya menodai langit dengan tatapan perih dan gemeretak gigi tanda kesakitan.

Itulah keadilan.

Keadilan bukanlah kebenaran karena sebenarnya tidak ada keadilan.

Ketika segelintir bersembah sujud pada-Mu, maka Kau menyukai mereka lewat cacat-cacat yang mereka idap. Sementara sebagian bersorak penuh harap dan dilimpahi berkat.

Adil itu kawan, teman, dan Tuhan...
Sebuah paradoks sederhana yang didongengkan pada kita agar menjadi manusia.

(Sebuah kontribusi sederhana untuk kesejahteraan masyarakat di pedalaman dan perkotaan)

Nusa Antara

"Tanahnya sehitam jelaga dan lebih lembut dari nasi ketan."
Demikian laporan sang mualim kepada laksamananya. ketika langit dan badai sudah tidak berselera untuk meretakkan kapal mereka dan membiarkannya terapung di samudera berair kelam.

"Tanahnya sehitam malam dan lebih lembut dari awan."
Sang mualim kembali melaporkan kondisi di sekitar mereka. ketika sang laksamana terdiam dan mengacuhkan seluruh awak kapal.

"Tanahnya sehitam arang dan lebih lembut dari kotoran."
Sang mualim menggeram kesal karena tidak mendapat jawaban dari sang laksamana. ketika kapal mereka bergoyang lemah ke arah batuan cadas.

"Tanah yang sehitam jelaga pasti sering melewati gelapnya malam dan abad terkutuk ini mengubahnya menjadi setandus arang. Tanah yang lebih lembut dari nasi ketan pastilah pernah mencoba menggapai awan dan selalu tersungkur ke dalam kotoran."
Sang laksamana menyenandungkan syair.

Tanah hitam yang membentuk pulau-pulau ini, pasti terserak ketika dihempas dari surga dan menarik minat tangan-tangan cokelat untuk menggarapnya hingga gembur. Tanah hitam ini menjadi kehitaman oleh humus dan darah kering para kesatria bahari yang bersumpah setia kemudian saling tikam demi titah Prabu dan Sultan.

Tanah yang hitam menjadikan tanah ini tampak sama sejauh mata memandang. Mengaburkan penghuninya yang beragam hingga tampak sama hingga mereka kehilangan alasan untuk saling bunuh.

Namun sayang, kehitaman jelaga akan tersapu air, kegelapan malam akan tersapu fajar, dan kekelaman arang hanya akan hilang di bawah tumpukan kayu segar yang lembab. Tanah itu sudah tidak hitam lagi. Penduduknya sudah saling kenal dan menyadari bahwa mereka berbeda dan mulai merenggut jiwa-jiwa dengan lapar dan memenjarakan jasadnya di tanah yang tidak lagi selembut nasi ketan, berada di bawah awan, dan masih sebusuk kotoran.

Tanah hitam tidak lagi hitam dan mulai berubah biru karena lebam dengan darah mengucur di sana-sini.

"Mereka menyebutnya Nusantara, Nusa Antara."
Sang laksamana terhenyak.

Nusantara, Nusa Antara, Nusa yang berada diantara, Nusa diantara keriuhan brutal dan titah-titah sesat para Prabu dan Sultan. Kapal itu menghantam batu cadas dan laksamana tersenyum sekilas.

"Layaknya pulau ini, aku akan terserak dan kembali ke surga."

(Sebuah pengingat akan loyalitas dalam Sumpah Palapa)

Mata Sepanas Dengki

Mata itu bara panas yang siap melubangi hamparan tikar. Ya, tikar anyaman yang saling jalin dan tumpang dengan erat hanyalah pecundang di mata sepanas bara api.

Mata itu tombak beracun yang siap membusukkan hamparan tikar. Ya, tikar anyaman yang dicipta dari dedaunan segar nan hijau akan mengering kecokelatan di ujung tombak berlumur bisa.

Mata itu cakar buas yang siap mengoyak hamparan tikar. Ya, hamparan tikar yang dipadu dalam keselarasan dan tunduk untuk bertumpang tindih akan tercerai di kuku tajam yang mengkilat.

Mata itu tatapan iblis yang siap menyesatkan hamparan tikar. Ya, hamparan tikar yang rapi itu akan kumal dalam tatapan penuh dengki dan ketakutan.

Waspadalah terhadap mata itu, mata yang tak akan bisa dikalahkan dengan gada besi sebagai kendali tempo dulu. Mata yang tercipta dari semburat dasar bumi dan melolongkan kedengkian dan kesakitan kepada siapa saja yang berusaha menundukkan pandangan mengerikannya.

Mata itu hanya bisa ditundukkan dengan lisan selicin baja yang siap meleburnya seperti tembaga cair untuk dibentuk sesuai kemauan. Mata itu bisa ditundukkan untuk berhenti memandangi anyaman tikar rapuh yang teronggok di rerumputan dengan mengatup lisan untuk selamanya.

Tikar anyaman hanya akan teronggok di sana dan ketahuilah, pandangan itu hanya akan mampu menunduk, tak akan pernah terpejam.

(Obituari atas keretakan yang tak terucap)

Sabtu, 20 Maret 2010

Welcome To My Blog!

Hi there! Thank you for visiting me, i know, it is very "clean" in here, haha, but i promise you that i will write many good articles with various issues such as: environment, law, culture, interfaith, and poems...

So...

Thank you for visiting!

-Jaka