Selamat ulang tahun ayah, bertahun lewat sejak kelahiranmu di sana. Debu masih bertumpuk dan membutakan mata, angin gurun tetap hangat dan gersang.
Selamat ulang tahun ayah, lonceng gereja bersimfoni dengan azan, melawan konser akbar dari dentuman bom di balik bukit.
Ini aku ayah, datang membawa air mata sekendi untuk membasuh aspal yang berbau hangus dan kehitaman, menyentuh lembut kursi roda usang yang menjadi rongsokan. Kutuangkan sedikit air ini ayah, semoga kau berkenan dan tersenyum simpul.
Di sini masih panas ayah, pohon zaitun tak tumbuh seperti pohon poplar dan menghilang dari halaman rumah kita. Batu-batu putih bersinar terang ayah, pagi tadi kutermangu, membayangkan mereka berbicara pada kita.
Ini aku ayah, datang tak hanya membawa air mata, juga sehelai jubah usang milikmu, aku membawa anak-anakku yang berharap kau kecup kening mereka untukku.
Tenanglah ayah, mereka tak akan nakal dan membuatmu pusing, mereka tertidur lelap sekali dalam balutan kain kerudung ibunya, hingga teramat susah bagiku melepas balutan kain itu.
Ini istriku ayah, potongan jubah dan kerudung putih yang berhasil aku kumpulkan dari bus yang meledak kemarin sore. Ia mengatakan ingin mengunjungi orangtuanya di sebelah rumahmu.
Aku tak bisa berlama ayah, bedil ini panas dan siap meledak. Akhirnya aku membungkuk hormat dan memohon restumu. Aku merangkai kuntum bunga dari Al-Fatihah.
Selamat ulang tahun ayah, restui aku meminang istriku di surga, dan jagalah anak-anakku sebelum aku sampai di sana.
(Sebuah puisi untuk mengenang enam tahun gugurnya Syaikh Ahmad Yassin, 22 Maret 2004 - 25 Maret 2010)
Kamis, 25 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar