Minggu, 28 Maret 2010

Aku Dinamai Manusia

Aku dinamai manusia, karena menyimpan otakku yang berharga dalam tengkorak gelap dan rapat. Agar tak ada debu yang mampu mengotori dan tak ada bisa yang mampu meracuni.

Aku dinamai manusia, karena menyembunyikan mataku di balik kelopak-kelopak kokoh. Agar tak ada sinar yang bisa membutakan dan tak ada gelap yang mampu menggoda.

Aku dinamai demikian karena kebodohanku untuk menentang suratan, bersimbah peluh demi kebajikan, dan meratap atas pelanggaran.

Aku dinamai manusia karena tak membiarkan akalku menghitung dengan benar, kemudian mencoba berkonspirasi dengan intuisi untuk hasil yang aku inginkan. Aku dinamai demikian karena aku merasa bukan lewat indera.

Aku dinamai manusia, karena membiarkan telingaku terbuka sepanjang masa. Siap menjadi tuli untuk mendengar apa saja dan siapa saja. Siap mendengar tabuh genderang perang dan gema gong perdamaian.

Aku dinamai manusia, karena memenjarakan lidahku di balik bibir yang terkatup dan gigi-gigi kokoh yang rapat. Tak tertembus. Sekuat apapun lisan meronta untuk menabur petaka, ia harus membunuhku terlebih dahulu.

Aku dinamai manusia, karena membual memiliki hati yang mampu merasa, padahal ia hanyalah gumpalan organ tak bermakna. Terlebih lagi, letaknya bukan di dada. Di sana berdiam paru-paru, yang dikekang rusuk agar tak bisa mengembang sesukanya untuk menyesap kehidupan di bumi.

Aku dinamai manusia karena keterbatasan kata, tak ada istilah lebih hina atau lebih mulia.

(Keprihatinan terhadap tiap tindakan pengkhianatan jabatan, penistaan kepercayaan, dan kelumpuhan terhadap ketidakadilan sosial-politik di Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar