Aku senang bertemu denganmu malam ini, gaun hitam dan perak berkilat mengatakan hal yang sama. Tiap belaian lembut angin malam memainkan ujung-ujung syal yang rapuh dan merasuk pelan lewat tengkukku.
Aku senang berbicara denganmu malam ini, kepulan asap kopi hitam dan aroma tembakau yang menguar mengiyakan hal yang sama. Tiap gelak tawa dan suara batuk di kejauhan membelai telinga dan ujung -ujung rambutku.
Malam telah larut dan cahaya dari kota impian terus merasuk dan memberikan kerinduan yang tak terkisah.
Aku senang bertemu denganmu malam ini, maukah kau menemaniku menikmati hanyut dalam gemerlap lampu kota dan menyongsong fajar dengan wangi rumput basah di balik gedung-gedung tinggi?
Di sini, di titik tertinggi dari kota pesisir yang berdiri anggun menentang kegelisahan. Tiap masa yang dilewati adalah denyut kehidupanmu, hidup yang ditopang lewat kebingungan dan kebimbanganku, lewat aliran hangat dari keinginan untuk berdiam dan menikmati gemerlap malam kota ini. Kita bergurau menertawakan hidup.
Aku senang berbicara denganmu malam ini, tiap kata yang terucap adalah simfoni hati yang tak kupahami dan kubagi padamu.
Di sini, ketika kerinduan merasuk dan keterpanaan pada kota impian datang, maka tiap kata tak harus dimengerti, tiap baris tak harus dipahami, karena begitulah puisi, tak termaknai. Ilham dan misteri penuh intrik, tak berujung.
(Suatu malam di Sydney empat tahun yang lalu, tulisan ini dihadiahkan kepada siapa saja yang memiliki memoar tentang cinta dan balas jasa)
Jumat, 26 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar