Minggu, 21 Maret 2010

Nusa Antara

"Tanahnya sehitam jelaga dan lebih lembut dari nasi ketan."
Demikian laporan sang mualim kepada laksamananya. ketika langit dan badai sudah tidak berselera untuk meretakkan kapal mereka dan membiarkannya terapung di samudera berair kelam.

"Tanahnya sehitam malam dan lebih lembut dari awan."
Sang mualim kembali melaporkan kondisi di sekitar mereka. ketika sang laksamana terdiam dan mengacuhkan seluruh awak kapal.

"Tanahnya sehitam arang dan lebih lembut dari kotoran."
Sang mualim menggeram kesal karena tidak mendapat jawaban dari sang laksamana. ketika kapal mereka bergoyang lemah ke arah batuan cadas.

"Tanah yang sehitam jelaga pasti sering melewati gelapnya malam dan abad terkutuk ini mengubahnya menjadi setandus arang. Tanah yang lebih lembut dari nasi ketan pastilah pernah mencoba menggapai awan dan selalu tersungkur ke dalam kotoran."
Sang laksamana menyenandungkan syair.

Tanah hitam yang membentuk pulau-pulau ini, pasti terserak ketika dihempas dari surga dan menarik minat tangan-tangan cokelat untuk menggarapnya hingga gembur. Tanah hitam ini menjadi kehitaman oleh humus dan darah kering para kesatria bahari yang bersumpah setia kemudian saling tikam demi titah Prabu dan Sultan.

Tanah yang hitam menjadikan tanah ini tampak sama sejauh mata memandang. Mengaburkan penghuninya yang beragam hingga tampak sama hingga mereka kehilangan alasan untuk saling bunuh.

Namun sayang, kehitaman jelaga akan tersapu air, kegelapan malam akan tersapu fajar, dan kekelaman arang hanya akan hilang di bawah tumpukan kayu segar yang lembab. Tanah itu sudah tidak hitam lagi. Penduduknya sudah saling kenal dan menyadari bahwa mereka berbeda dan mulai merenggut jiwa-jiwa dengan lapar dan memenjarakan jasadnya di tanah yang tidak lagi selembut nasi ketan, berada di bawah awan, dan masih sebusuk kotoran.

Tanah hitam tidak lagi hitam dan mulai berubah biru karena lebam dengan darah mengucur di sana-sini.

"Mereka menyebutnya Nusantara, Nusa Antara."
Sang laksamana terhenyak.

Nusantara, Nusa Antara, Nusa yang berada diantara, Nusa diantara keriuhan brutal dan titah-titah sesat para Prabu dan Sultan. Kapal itu menghantam batu cadas dan laksamana tersenyum sekilas.

"Layaknya pulau ini, aku akan terserak dan kembali ke surga."

(Sebuah pengingat akan loyalitas dalam Sumpah Palapa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar