Jumat, 06 Agustus 2010

Jatuh Cinta

Rasanya manis dan membuat batuk
Begitu lengket hingga mencekat tenggorokan
Baunya sedap dan cukup untuk menidurkan sekawanan gajah

Segala tentangnya dimaknai indah
Setiap geraknya adalah bahagia

Harusnya ia dipuja dengan kata-kata agung
Dimuliakan dengan sebutan pongah
Namun kenyataan hanya mengecewakan teori ini

Jatuh
Makhluk mana yang bersedia mengalaminya berkali-kali?

Jatuh
Dimaknai negatif, selalu

Namun rasa itu adalah sebuah kejatuhan
Sebuah kemunduran dan petaka
Penyakit akut dalam kejayaan

Rasa itu adalah jatuh
Tersungkur, terluka, dan kesakitan

Jatuh, seseorang harus terperosok dalam kehinaan sebelum mendapatkan cinta

(Sebuah refleksi di tengah kegundahan)

Kamis, 05 Agustus 2010

Rampak Gendang

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Ada yang menganggapnya sebagai awal ekstase
Ada juga yang menganggapnya sebagai pengiring pesta

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Dibuat dari kulit kambing dan sapi
Keduanya disembelih, dibiarkan terkapar, digantung, dan dikuliti
Ritme menyenangkan dari pembantaian yang lumrah

Gendang yang ditabuh bermakna seribu
Ketika sebaris pemuda memukulnya dan sebaris lain mulai menari
Maka seribu maknanya pudar dalam kelumrahan

Gendang adalah tabuhan yang semakin biasa, irama-irama konstan yang mulai membosankan, namun tetap bermakna seribu

Gendang adalah bunyian ritmis yang tak perlu dipikirkan, terus berulang seribu kali bak petaka di tanah ini

(Petisi penuh amarah terhadap setiap wacana konyol yang dilontarkan pemerintah)

Kamis, 27 Mei 2010

Mencinta Hingga Gerbang Maut

Layla Majnun yang menginspirasi kisah Romeo Juliet konon berasal dari kenyataan mengenaskan.



Sebuah kisah cinta penuh kemalangan, itulah yang menginspirasi Nizami Ganjavi untuk menulis kisah ini, kelak Shakespeare terinspirasi darinya.



Drama cinta tentang kesetiaan dan kemalangan tak akan tercipta dari khayalan, sebuah kisah penuh luka tak mungkin lahir dari bualan.



Ada teladan yang menjadi martir bagi lahirnya kisah para pujangga. Adalah para pasangan, yang berpegang erat pada janji suci di depan altar atau berikrar di hadapan orang saleh. Taat sampai mati.





Drama cinta tentang kesetiaan dan kemalangan tak akan tercipta dari khayalan, sebuah kisah penuh luka tak mungkin lahir dari bualan.



Para martir kasih menginspirasi para pujangga, dalam kebisuan dan kerapuhan tubuh mereka, berbagi air mata dan mereguk surga bersama. Kisah hidup mereka ada dalam satu suara:



Mencinta hingga gerbang maut.



(Sebuah puisi yang terinspirasi oleh BJ Habibie dan Almarhumah Ainun Hasri Habibie)

Rabu, 12 Mei 2010

Jika Mereka Bicara

Jika pasir bisa bicara kawan, akan ada cerita tentang batu yang dirapuhkan bumi, sebuah kisah tentang gunung karang yang musnah dalam waktu dan lahirnya padang gurun dari bebatuan.



Jika hujan bisa berucap kawan, akan ada cerita sederhana tentang riwayatnya, sebuah nubuat tentang panasnya matahari yang merenggut butiran basah dari sungai, kemudian dipudarkan di langit. Sebuah mitos akan dikembangkan dari derasnya hujan yang turun.



Pasir dan hujan kawan, jika keduanya mampu berkata maka akan ada badai gurun yang mengamuk hari ini. Hujan kering yang panas dan membutakan. Kita tak akan pernah melihat dan bernapas lagi.



Jika tanah mampu membuka mulut kawan, akan ada pengakuan tentang belulang yang dihimpit di dalamnya, sebuah kisah tentang kesuburan dari hidup yang direnggut dalam kebisuan.



Jika hari ini, aspal panas dan jalanan berdebu mampu berteriak kawan, maka akan kau dengar cerita yang ingin mereka bagi padamu. Tentang kenangan yang harus disudahi dan sepenggal tradisi yang masih berarti.



(Mengenang Peristiwa 12 Mei 1998 Sebagai Sebuah Kenangan dalam Perjuangan)

Senin, 26 April 2010

What is Success?

Sometimes I think that success is something that has been determined in advance, rather than something that is obtained from the struggle. Someone who was born of a wealthy and respected families will have the guarantee of a good education, will have a supportive social environment, and of course adequate nutrients for growth. Someone who grew up in intact families and respected, with an idolized and meaningful parents can be grown without barriers and easily determine the ideals and steps must be followed. Everything seemed to have been available in one complete set.

What is success? Destiny or choice?

Let's look at the people who grew up in poor families and dilapidated. Their families were nobody and far from being respected. Their parents were not the figures that could assist their growth and provide a good example. These poor people get an education just improvise with the social circles that do not support. Let alone thinking about success, just deal with the problems of living alone is very heavy.


What is success? Destiny or choice?

They say God is fair, He gives equal opportunities to everyone to get what they want, He never distinguished anyone.

But if we are faced with the case above, can we still look God as justice without the slightest bother of feelings? Is it fair to let the two men compete with a draw? Is it feasible to let two people fight over water with a straw and a high pressure pump?


What is success? Destiny or choice? What is justice? Truth or folklore?

Or is there a karma? What we experience in life is the result of our actions in past life.

God and us, we know a fair competition for success should be done by people who have the equal power.



What is success? Destiny or choice?


(Question from someone who harass the justice of God)

Jumat, 23 April 2010

Tak Ada

Tak ada biara di pegunungan atau istana musim panas yang berdiri pongah di ujung lansekap; tak ada satu pun yang dibangun dari tumpukkan pasir atau susunan batu belaka.

Tak ada keraton di balik rindang pepohonan purba ataupun pertokoan kota lama dengan asap sehitam jelaga; tak ada yang dicipta semalam dan sekejap mata.

Kata orang, Sutasoma bukan berasal dari gunjingan kasta sudra ataupun senyum palsu para Brahmana; tak ada kitab yang ditulis dalam khayalan, tak ada wahyu dalam semalam.

Tak ada satupun, tak ada.

Bukan negeri ini, bukan bangsa ini. Keduanya dicipta dalam cakrawala waktu yang menempa kekerabatan di bawah terik dataran khatulistiwa, tak ada kekerabatan darah dan keluarga.

Tak ada satupun, tak ada.

Keduanya terus ditempa oleh waktu, terus diuji tentang kekerabatan. Tentang mimpi membangun istana dari tumpukkan pasir yang berasal dari ribuan pesisirnya, tentang sebuah benteng kokoh dari susunan batu belaka.

Keduanya terus ditempa; bangsa ini sedang diuji.

Apakah berbeda-beda tapi tetap satu ataukah berbeda-beda harus menjadi satu?

Bangsa ini yang akan menjawab, apakah Sutasoma hanya dusta, ataukah memang ada bangunan pasir yang menyilaukan mata?

(Memoar luka tentang penggusuran pemukiman Cina Banteng)

Rabu, 31 Maret 2010

Milik Tuhan

Kita hanya batang-batang lemah dandelion di ladang jagung milik Tuhan, semudah hembusan angin maka kita akan berhamburan kemana-mana, sementara jagung-jagung hanya akan melambai pelan.

Kita hanya genangan-genangan kotor di hari hujan milik Tuhan, bergolak hebat dihantam tetesan-tetesan kecil, semudah angin merobek awan untuk menumpahkan air dari lazuardi.

Kita hanya batang kapur rapuh di papan tulis milik Tuhan, ketika tangan-Nya bergerak dan menggerus kita pelan untuk menuliskan putusan. Semudah angin melenyapkan serpihan-serpihan kapur yang halus dan membawanya menghilang.

Kita hanya memainkan peran sederhana kita di lelucon milik Tuhan, tak ada balasan atas kepatuhan, tak ada jaminan kebahagiaan, semudah angin berhembus: tak menentu.

(Ketika batas kepasrahaan dan keputusasaan semakin kabur)